Beranda | Artikel
Kaidah Ke-69 : Ibadah Yang Dilaksanakan Berdasarkan Dalil Syari Tidak Boleh Dibatalkan
Kamis, 20 Oktober 2016

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ke Enam Puluh Sembilan

 كُلُّ عِبَادَةٍ اِنْعَقَدَتْ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ فَلاَ يَجُوْزُ إِبْطَالُهَا إِلاَّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ آخَرَ

Setiap ibadah yang dilaksanakan berdasarkan dalil syar’i tidak boleh dibatakan kecuali dengan dalil syar’i lainnya

Sesungguhnya setiap amalan ibadah dalam syari’at Islam bersumber dan berdasarkan dalil-dalil syar’i. Oleh karena itu, hukum asal dalam amal-amal peribadahan adalah terlarang sampai ada dalil syar’i shahih yang menunjukkannya. Dan perlu kita fahami bahwa setiap amal ibadah apabila dilaksanakan sesuai ketentuan dalil syar’i maka tidak boleh seorangpun menyatakan ibadah itu batal  kecuali berdasarkan dalil syar’i juga. Jika tidak ada dalil, maka ia tidak boleh menyatakan ibadah tersebut batal.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allâh. [An-Nahl/16:116]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah, Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allâh dengan sesuatu yang Allâh tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allâh apa yang tidak kamu ketahui. [Al-A’râf /7:33]

Oleh karena itu, menjadikan suatu perkara sebagai pembatal ibadah termasuk permasalahan tauqîfiyyah (hanya berdasarkan dalil), dan tidak ada peran syahwat,  pendapat madzhab, maupun qiyas-qiyas yang batil.  Apa yang ditentukan dalil sebagai pembatal suatu ibadah maka kita tetapkan sebagai pembatal, dan apa yang tidak ditentukan dalil sebagai pembatal ibadah kita pun tidak menetapkannya.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin mengatakan, “Kita tidak boleh memberanikan diri menyatakan batalnya suatu ibadah yang dikerjakan dalam rangka menghamba kepada Allâh kecuali dengan dalil yang jelas.”[1]

Untuk lebih memperjelas substansi kaidah ini, kita bisa mencermati beberapa contoh penerapan kaidah berikut ini :

  1. Wudhu adalah suatu ibadah berdasarkan dalil syar’i sebagai pengangkat hadats. Dalil syar’i juga telah menunjukkan bahwa wudhu menjadi batal karena keluarnya sesuatu dari dua jalan, tidur lelap dan yang lebih berat darinya seperti gila dan pingsan, demikian pula karena hal-hal yang mewajibkan mandi, menyentuh kemaluan dengan syahwat tanpa penghalang, dan dengan makan daging onta. Perkara-perkara tersebut telah ditetapkan berdasarkan dalil syar’i sebagai pembatal wudhu. Sebagian berpendapat bahwa menyentuh wanita meskipun dengan syahwat[2], memikul jenazah[3] atau memandikannya, tertawa terbahak-bahak[4] dan semisalnya termasuk pembatal wudhu. Pendapat ini tidak tepat karena tidak ada dalil yang menjelaskan hal tersebut.

Adakalanya dalil yang dipakai shahih namun tidak secara tegas menunjukkannya, atau dalil tersebut jelas menunjukkannya akan tetapi tidak shahih. Kita tidak boleh bersandar kepada dalil-dalil semisal itu, karena wudhu telah ditetapkan hukumnya berdasarkan dalil syar’i maka kita tidak boleh membatalkannya kecuali berdasarkan dalil syar’i juga.

  1. Telah diketahui bersama berdasarkan dalil syar’i bahwa seseorang dikatakan masuk dalam rangkaian ibadah shalat jika ia telah mengucapkan takbîratul ihram. Berdasarkan kaidah di atas, maka tidak boleh bagi seseorang untuk menyatakan shalat yang dilakukannya itu batal kecuali berdasarkan dalil.

Dari sini dapat kita ketahui kesalahan sebagian orang yang mengatakan bahwa shalat itu bisa batal dengan berdehem jika muncul dua huruf, karenakan mereka tidak bisa menunjukkan dalil. Demikian pula kita mengetahui salahnya pendapat yang menyatakan shalat seseorang itu batal jika ia memberi isyarat dengan isyarat yang bisa difahami orang lain. Padahal disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma mengatakan :

فَقُلْتُ لِبِلاَلٍ كَيْفَ رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرُدُّ عَلَيْهِمْ حِينَ كَانُوا يُسَلِّمُونَ عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي قَالَ يَقُولُ هَكَذَا وَبَسَطَ كَفَّهُ وَبَسَطَ جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ كَفَّهُ وَجَعَلَ بَطْنَهُ أَسْفَلَ وَجَعَلَ ظَهْرَهُ إِلَى فَوْقٍ 

Aku bertanya kepada Bilal, ‘Bagaimanakah engkau melihat Rasûlullâh n menjawab salam ketika mereka mengucapkan salam padahal Beliau n sedang shalat?’ Bilal z menjawab, ‘Begini.’ Kemudian ia membuka telapak tangannya. Ja’far bin ‘Aun (perawi hadits ini) membuka telapak tangannya dan menjadikan perut telapak tangan di bawah, sedangkan punggung telapak tangan di atas.’ [5]

Demikian pula ketika Mu’âwiyah bin al-Hakam as-Sulami berbicara ketika shalat, para Shahabat mengarahkan pandangan kepadanya dan mereka menepukkan tangan ke kaki-kaki mereka.[6] Apa yang dilakukan oleh para Shahabat tersebut merupakan isyarat yang difahami.

Dari sini dapat kita ketahui bahwa isyarat yang difahami baik dengan tangan,  kepala, atau semisalnya tidaklah membatalkan shalat karena tidak adanya dalil yang menunjukkannya, bahkan ada dalil yang menunjukkan sebaliknya.

Kita ketahui juga akan salahnya pendapat yang menyatakan batalnya shalat dengan berbicara karena lupa atau adanya najis karena lupa atau ketidaktahuan. Hadits Mu’âwiyah bin al-Hakam dalam Shahîh Muslim[7] dan hadits tentang shalatnya Nabi n dengan memakai sandal yang terkena najis[8] menjadi hujjah yang membantahnya.

Demikianlah, setiap orang yang mendakwakan suatu perkataan atau perbuatan menjadi pembatal shalat, maka ia dituntut mendatangkan dalil. Karena hukum asalnya shalat yang dilakukan tidaklah batal, dan dalil dituntut dari orang yang mengeluarkan dari hukum asal bukan dari orang yang berpegang dengan hukum asal.

  1. Tentang ibadah puasa yang terlaksana dengan niat menahan diri dari segala pembatal puasa sejak fajar sampai matahari tenggelam. Apabila seseorang telah masuk dalam rangkaian ibadah puasa dengan tata cara yang telah ditentukan tersebut, maka tidak boleh bagi seseorang untuk menyatakan batalnya puasa yang dilakukan kecuali disertai dalil yang shahih dan sharih (jelas). Dari sini dapat kita ketahui kesalahan orang yang berpendapat bahwa memakai pacar kuku, atau menggunakan obat tetes mata, suntikan yang bukan nutrisi makan itu membatalkan puasa. Hal ini karena tidak ada dalil yang menunjukkannya. Demikan pula kita ketahui kesalahan pendapat yang menyatakan bahwa ghîbah[9], mencium istri[10], keluarnya madzi, pingsan, mencium aroma harum, mencicipi makanan, menelan ludah[11] atau dahak, dan semisalnya termasuk pembatal puasa. Pendapat yang benar adalah bahwa hal-hal tersebut tidak termasuk pembatal puasa.

Demikian pembahasan kaidah ini semoga semakin menambah wawasan dan pemahaman kita terhadap kaidah-kaidah fiqih dalam agama kita yang mulia ini sebagai jembatan untuk semakin bertaqarrub dan meningkatkan penghambaan hanya kepada-Nya.[12]

Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVIII/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Cetakan I, Tahun 1422 H, Dar Ibnil Jauzi, Damam, VI/370.
[2] Menurut madzhab Syâfi’iyah dan Dawud az-Zhahiri, menyentuh wanita membatalkan wudhu meskipun tidak diiringi syahwat. Madzhab Mâliki dan salah satu pendapat dalam madzhab Hanâbilah menyatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu jika disertai syahwat. Sedangkan madzhab Hanafi, salah satu riwayat dalam madzhab Hanâbilah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlaq kecuali jika keluar sesuatu dari kemaluan. (Lihat al-Fiqh al-Muyassar Qism al-Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad at-Thayyâr, Cetakan ke-2, Tahun 1433 H/2012 M, Madar al-Wathan li an-Nasyr, Riyadh, I/74-75)
[3] Imam Ibnu Rusyd berkata, “Sebagian kaum mempunyai pendapat yang syadz dengan mewajibkan wudhu karena memikul jenazah. Memang ada atsar tapi dha’if, ‘Barangsiapa memandikan jenazah maka hendaklah ia mandi, dan barangsiapa memikulnya maka hendaklah ia berwudhu.” (Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, al-Imam al-Qadhi Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi, Tanpa Tahun, Dar al-Fikr, I/29)
[4] Imam Ibnu Rusyd berkata, “Imam Abu Hanifah memiliki pendapat syadz dengan mewajibkan wudhu karena tertawa ketika shalat berdasarkan hadits mursal dari Abul ‘Aliyah bahwa ada suatu kaum yang tertawa ketika shalat lalu Nabi nmemerintahkan mereka untuk mengulangi wudhu dan shalat. (Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, al-Imam al-Qadhi Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi, Tanpa Tahun, Dar al-Fikr, I/29)
[5] HR. Abu Dawud, no. 927 dan at-Tirmidzi, no. 368. Imam at-Tirmidzi berkata, ‘Hadits hasan shahih.”
[6] HR. Muslim dalam Kitab al-Masâjid wa Mawadhi’ as-Shalat, , no. 536.
[7] Idem.
[8] HR. Abu Dawud, , no. 650 dari Abu Sa’id al Khudri. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud, 1/192
[9] Syaikh al-Utsaimin berkata, “Sebagian salaf berpendapat bahwa perkatan haram dan perbuatan haram ketika berpuasa membatalkannya, seperti ghîbah, akan tetapi Imam Ahmad t tatkala ditanya tentang hal tersebut dan ditanyakan kepadanya, “Sesungguhnya fulan berkata bahwa ghîbah membatalkan puasa.” Maka beliau menjawab, “Seandainya ghîbah membatalkan puasa maka tidak ada puasa yang tersisa bagi kita.” (as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’)
[10] Imam Ibnu Rusyd berkata, “Sebagian kaum mempunyai pendapat yang syadz dengan mengatakan bahwa mencium istri membatalkan wudhu. Mereka berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan dari Maimunah bintu Sa’d di mana ia berkata, “Rasûlullâh n pernah ditanya tentang orang berpuasa yang mencium istrinya, maka Beliau n bersabda, “Keduanya batal puasanya.” (Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, I/212)
[11] Syaikh Muhammad bin Shalil Al Utsaimin berkata, “Dalam permasalahan ini tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa megumpulkan ludah membatalkan puasa, yaitu apabila seseorang mengumpulkan ludahnya lalu menelannya. (as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, VI/423)
[12] Diangkat dari Talqîh al-Afhâm al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah ke-24.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/5890-kaidah-ke69-ibadah-yang-dilaksanakan-berdasarkan-dalil-syari-tidak-boleh-dibatalkan.html